KATA PENGANTAR.............................................................................................. i
PSIKOLOGI
ABNORMAL..................................................................................... 2
A.
PENGERTIAN
PSIKOLOGI ABNORMAL..................................................... 2
B.
MANFAAT
MEMPELAJARI PSIKOLOGI ABNORMAL.............................. 3
C.
ILMU-ILMU YANG
BERHUBUNGAN DENGAN
PSIKOLOGI ABNORMAL................................................................................ 3
1.
Psikiatri............................................................................................................ 3
2.
Neurologi......................................................................................................... 4
3.
Psikoanalisis.................................................................................................... 4
KONSEPSI-KONSEPSI
TENTANG ABNORMALITAS................................... 5
A.
TINJAUAN
BERDASARKAN SUDUT PANDANG TERTENTU................. 5
1.
AbnormalitasmenurutKonsepsiStatistik.......................................................... 5
2.
Abnormal
menurutKonsepsiPatologis............................................................. 5
3.
Abnormal
menurutKonsepsiPenyesuaianPribadi............................................ 6
4.
AbnormalitasmenurutKonsepiSosio-kultural.................................................. 6
5.
AbnormalitasmenurutKonsepsiKematanaganPribadi...................................... 6
B.
TINJAUAN SECARA
ELEKTIS........................................................................ 6
1.
Menurut Maslow
danMittelmann.................................................................... 7
2.
KriteriaPribadi
yang normal menurut W.F. Maramis...................................... 5
KLASIFIKASI DAN
GEJALA-GEJALA KELAINAN JIWA........................... 8
A.
KLASIFIKASI
KELAINAN JIWA.................................................................... 8
B.
GEJALA-GEJALA
KELAINAN JIWA............................................................. 10
NEUROSIS................................................................................................................ 12
A.
PENGERTIAN
NEUROSIS................................................................................ 12
B.
JENIS-JENIS
NEUROSIS................................................................................... 13
1.
Neurosis Cemas............................................................................................... 13
2.
Histeria............................................................................................................ 14
3.
Neurosis Fobik................................................................................................ 16
4.
Neurosis
Obsesif-kompulsif............................................................................ 17
5.
Neurosis
Depresif............................................................................................ 18
C.
TERAPI UNTUK
PENDERITA NEUROSIS DEPRESIF................................ 19
PSIKOSIS.................................................................................................................. 21
A.
PENGERTIAN
PSIKOSI.................................................................................... 21
B.
PERBEDAAN
PSIKOSIS DENGAN NEUROSIS........................................... 22
C.
JENIS-JENIS
PSIKOSIS..................................................................................... 23
PSIKOPAT................................................................................................................ 27
A.
PENGERTIAN
PSIKOPAT................................................................................ 27
B.
FAKTOR PENYEBAB
TERJADINYA PSIKOPAT......................................... 27
RETALDASI MENTAL.......................................................................................... 29
A.
PENGERTIAN
RETALDASI MENTAL........................................................... 29
B.
FAKTOR-FAKTOR
PENYEBAB TERJADINYA RETALDASI MENTAL.. 29
C.
TINGKATAN
RETALDAASI MENTAL.......................................................... 32
D.
PENCEGAHAN
RETALDASI MENTAL......................................................... 34
E.
PENANGANAN
RETALDASI MENTAL........................................................ 35
STRES........................................................................................................................ 36
A.
KONSEPSI-KONSEPSI
MENGENAI STRES.................................................. 36
KATA PENGANTAR
Alhamdulillah
dengan rasa syukur kehadirat Allah SWT, yang dengan rahmat dan inayah – Nya.Makalah
Psikologi Abnormal ini telah selesai kami susun untuk membantu proses
pembelajaran kami di Prodi PSIK CND Langsa.
Dengan
selesainya makalah ini semoga dapat mempermudah klompok kami maupun pembaca
lainnya untuk dapat memahami dan mempelajari isi makalah ini.
Kepada Allah
SWT. Kami memohon taufik dan hidayah –Nya semoga usaha kami ini senantiasa
dalam keridhaan –Nya. Amin.
Langsa , 31
Desember 2011
Penyusun
( surya )
PSIKOLOGI
ABNORMAL
A. PENGERTIAN
PSIKOLOGI ABNORMAL
Psikologi abnormal
kadang-kadang disebut juga
psikopatologi. Dalam
bahasa
Inggris dinyatakan dengan
istilah Abnormal Psychology.Apa yang- dimaksud dengan psikologi abnormal?
Berikut dikemukakan beberapa definisi. Menurut Kartini Kartono (2000: 25),
psikologi abnormal adalah salah satu cabang
psikologi yang menyelidiki
segala bentuk gangguan
mental dan abnormalitas jiwa.
Singgih
Dirgagunarsa (1999: 140)
mendefinisikan psikologi abnormal atau
psikopatologi sebagai lapangan
psikologi yang berhubungan
dengan kelainan atau hambatan
kepribadian, yang menyangkut
proses dan isi kejiwaan.
Berkenaan dengan definisi psikologi abnormal, pada
Ensiklopedia Bebas Wikipedia (2009), dinyatakan
“Abnormal psychology is an academic
and applied subfield of
psychology involving the
scientific study of
abnormal experience and behavior
(as in neuroses, psychoses and
mental retardation) or with certain
incompletely understood states
(as dreams and
hypnosis) in order to understand
and change abnormal patterns of functioning”.
Definisi
psikologi abnormal juga
dapat dijumpai di
Merriem-Webster
OnLine
(2009). Pada kamus
online tersebut dinyatakan
: “Abnornal psychology : : a
branch of psychology concerned with mental and emotional disorders (as neuroses, psychoses, and mental retardation) and with certain incompletely understood normal
phenomena (as dreams and hypnosis)”
Dari empat definisi
yang dinyatakan dengan
kalimat yang berbeda tersebut dapat
diidentifikasi pokok-pokok pengertian
psikologi abnormal sebagai
berikut :
1.
Psikologi
abnormal merupakan salah satu cabang dari psikologi atau psikologi khusus.
2.
Yang dibahas
dalam psikologi abnormal
adalah segala bentuk gangguan atau
kelainan jiwa baik
yang menyangkut isi
(mengenai apa saja yang mengalami kelainan) maupun proses (mengenai faktor
penyebab, manifestasi, dan akibat dari gangguan tersebut).
B. MANFAAT MEMPELAJARI
PSIKOLOGI ABNORMAL
Psikologi
abnormal dipelajari dengan
harapan dapat diperoleh pengetahuan dan pemahaman tentang
seluk beluk kelainan jiwa (jenis, gejala, penyebab, cara
mencegah dan menanganinya,
dst.). Pengetahuan dan pemahaman
mengenai hal tersebut
diperlukan dalam bidang
psikiatri dan bimbingan dan
konseling. Khusus untuk konselor, dengan memiliki pengetahuan dan pemahaman mengenai
seluk beluk kelainan jiwa diharapkan
dapat bermanfaat bagi upaya pencegahan
dan penanganan gangguan
jiwa yang mungkin terjadi
pada peserta didik.
C. ILMU-ILMU YANG BERHUBUNGAN DENGAN PSIKOLOGI ABNORMAL
Usaha untuk mendapatkan pengertian yang luas dan mendalam
tentang kelainan jiwa antara
lain dilakukan dengan mengkaitkan psikologi
abnormal dengan ilmu-ilmu lainnya.
Keterkaitan tersebut menyangkut
bidang keilmuan dan juga bidang profesi.
Beberapa ilmu yang berhubungan dengan
psikologi abnormal adalah antara lain sebagai berikut :
1. Psikiatri
Psikiatri
atau ilmu kedokteran jiwa
adalah cabang dari
ilmu kedokteran, yang mempelajari segala hal yang berhubungan dengan gangguan jiwa, yaitu dalam hal pengenalan,
pengobatan, rehabilitasi, dan pencegahan
serta juga dalam
hal pembinaan dan
peningkatan kesehatan jiwa (Maramis, 2005: 22). 8 Psikologi Abnormal/Drs. Kuntjojo,
M.Pd. Psikologi abnormal berhubungan
dengan psikiatri karena keduanya mempelajari hal-hal
yang berhubungan dengan
gangguan dan juga penyakit
jiwa. Namun pada
psikologi abnormal usaha tersebut tidak sampai pada penyembuhan
dan rehabilitasi, terlebih lagi bagi penderita psikosis.
2. Neurologi
Neurologi
adalah cabang dari
ilmu kedokteran yang
khusus mempelajari struktur dan
fungsi syaraf, serta
diagnosis dan penyembuhan gangguan
system syaraf. Neurologi
diperlukan psikologi abnormal karena
terjadinya kelainan jiwa dapat
disebabkan oleh kelainan pada system syaraf.
3. Psikoanalisis
Psikoanalisis memiliki dua dimensi, yaitu sebagai aliran
psikologi dan teknik terapi.
Sebagai aliran psikologi,
psikoanalisis banyak membahas kepribadian manusia beserta
dinamikanya. Dan sebagai teknik terapi,
psikoanalisis bertolak dari
anggapan bahwa gangguan jiwa dapat terjadi karena faktor organis
dan terutama faktor psikologis oleh
karena itu untuk
menyembuhkan gangguan jiwa
maka harus diawali dengan
mengungkap akar permasalahannya, yaitu
yang bersumber dari faktor-faktor psikologis penderita.
KONSEPSI
- KONSEPSI
TENTANG
ABNORMALITAS
A. TINJAUAN BERDASARKAN
SUDUT PANDANG TERTENTU
Abnormal artinya menyimpang dari yang normal. Yang normal itu
yang bagaimana? Bilamana gejala
jiwa atau perilaku
dinyatakan normal ? Pertanyaan
tersebut tidak mudah untuk
dijawab sebab manusia merupakan makhluk multi
dimensional. Manusia merupakan
makhluk biologis, makhluk individu, makhluk sosial, makhluk
etis, dst., sehingga perilaku manusia dapat dijelaskan dari
dimensi-dimensi tersebut. begitu juga bila berbicara mengenai abnormalitas jiwa. Berikut
ini dikemukakan beberapa
konsepsi mengenai abnormalitas menurut
tinjauan tertentu (Maramis,
2005 : 94-100;
Kartini Kartono, 1999 : 1-10).
1. Abnormalitas menurut Konsepsi Statistik
Secara
statistik suatu gejala
dinyatakan sebagai abnormal
bila menyimpang dari mayoritas. Dengan demikian seorang yang jenius sama- sama abnormalnya
dengan seorang idiot,
seorang yang jujur
menjadi abnormal diantara komunitas orang yang tidak jujur.
2. Abnormal menurut Konsepsi Patologis
Berdasarkan
konsepsi ini tingkah
laku individu dinyatakan
tidak normal bila terdapat
simptom-simptom klinis tertentu,
misalnya ilusi, halusinasi, obsesi,
fobia,dst. Sebaliknya individu
yang tingkah lakunya tidak
menunjukkan adanya simptom-simptom tersebut
adalah individu yang normal.
3. Abnormal menurut Konsepsi Penyesuaian Pribadi
Menurut
konsepsi ini seseorang
dinyatakan penyesuaiannya baik bila
yang bersangkutan mampu
menangani setiap masalah
yang dihadapinya dengan berhasil.
Dan hal itu menunjukkan bahwa
dirinya memiliki jiwa yang normal. Tetapi bila dalam menghadapi maslah
dirinya menunjukkan kecemasan, kesedihan,
ketakutan, dst. yang
pada akhirnya masalah tidak
terpecahkan, maka dikatakan
bahwa penyesuaian pribadinya tidak
baik, sehingga dinyatakan
jiwanya tidak normal.
4. Abnormalitas menurut Konsepsi Sosio-kultural
Setiap
masyarakat pasti memiliki
seperangkat norma yang berfungsi sebagai
pengatur tingkah laku
para anggotanya. Individu sebagai anggota masyarakat dituntut
untuk menyesuaikan diri dengan norma-norma sosial dan susila di mana
dia berada. Bila individu tingkah lakunya
menyimpang dari norma-norma
tersebut, maka dirinya dinyatakan sebagai individu yang tidak
normal.
5. Abnormalitas menurut Konsepsi Kematangan Pribadi
Menurut konsepsi kematangan pribadi, seseorang dinyatakan
normal jiwanya bila dirinya telah menunjukkan kematangan pribadinya, yaitu bila
dirinya mampu berperilaku sesuai dengan tingkat perkembangannya.
B. TINJAUAN SECARA
EKLEKTIS
Tinjauan eklektis adalah
tinjauan yang tidak hanya
berpegang pada satu sudut pandang saja.
Pembahasan mengenai abnormalitas
dari satu sudut pandang atau konsepsi tertentu ternyata
memiliki kelemahan. Oleh karena itu dengan menggunakan berbagai sudut pandang
diharapkan dapat diidentifikasi dengan
tepat apakah perilaku
itu normal atau
tidak. Dan berikut
ini dikemukakan dua pandangan mengenai abnormalitas secara eklektis.
1. Menurut Maslow dan Mittelmann
Maslow dan
Mittelmann (kartini Kartono, 1989
: 6-9), menyatakan bahwa pribadi
yang normal dengan
jiwa yang sehat
ditandai dengan ciri-ciri sebagai
berikut.
a. Memiliki rasa
aman yang tepat (sense of security)
b. Memiliki penilaian
diri (self evaluation)
dan wawasan (insight) yang rasional.
c. Memiliki
spontanitas dan emosional yang tepat.
d. Memiliki kontak
dengan realitas secara efisien.
e. Memiliki
dorongan-dorongan dan nafsu-nafsu yang sehat.
f. Memiliki
pengetahuan mengenai dirinya secara objektif.
g. Memiliki tujuan
hidup yang adekuat, tujuan hidup yang realistis,
yang didukung oleh potensi.
h. Mampu belajar
dari pengalaman hidupnya.
i. Sanggup untuk
memenuhi tuntutan-tuntutan kelompoknya.
j. Ada sikap
emansipasi yang sehat pada kelompoknya.
k. Kepribadiannya
terintegrasi.
2. Kriteria Pribadi yang normal menurut W.F. Maramis.
Menurut Maramis
(1980 : 97), terdapat enam kelompok sifat yang dapat
dipakai untuk menentukan abnormalitas. Keenam sifat dimaksud adalah sebagai
berikut.
a. Sikap terhadap diri sendiri : menerima dirinya
sendiri, identitas diri yang memadai,
serta penilaian yang
realistis terhadap kemampuannya.
b. Cerapan
(persepsi) terhadap kenyataan
: mempunyai pandangan yang realistis tentang diri sendiri dan
lingkungannya.
c. Integrasi: kesatuan kepribadian, bebas dari konflik
pribadi yang melumpuhkan dan memiliki daya tahan yang baik terhadap stres.
d. Kemampuan
: memiliki kemampuan
dasar secara fisik, intelektual, emosional, dan sosial
sehingga mampu mengatasi berbagai masalah.
e. Otonomi : memiliki
kepercayaan pada diri
sendiri yang memadai, bertanggung
jawab, mampu mengarahkan
dirinya pada tujuan hidup.
f.
Perkembangan dan perwujudan
dirinya : kecenderungan pada kematangan yang makin
tinggi.
KLASIFIKASI
DAN GEJALA-GEJALA
KELAINAN
JIWA
A. KLASIFIKASI
KELAINAN JIWA
Kelainan atau gangguan
jiwa beraneka ragam,
baik itu menyangkut faktor penyebab, gejala-gejala
yang paling menonjol, dan
berat-ringannya gangguan tersebut. Untuk
keperluan kemudahan dalam
komunikasi, kemudahan pendidikan, dan
membuka jalan untuk
penelitian lebih lanjut
maka para ahli kemudian membuat klasifikasi gangguan
jiwa.
Secara garis besar
gangguan jiwa menurut
Pedoman Penggolongan Diagnosis
Gangguan Jiwa (PPDGJ)
(Maramis, 2005: 150-155)
adalah sebagai berikut :
I. Psikosis
A. Psikosis Berhubungan denan Sindroma Otak Organik
1. Dementia
senilis dan presenilis
2. Psikosis
alkoholik
3. Psikosis berhubungan
dengan infeksi intracranial
4. Psikosis
berhubungan dengan kondisi serebral lain
5. Psikosis
berhubungan dengan kondisi fisik lain
B. Psikosis Fungsional
1. Skizofrenia
2. Psikosis
afektif
3. Psikosis
paranoid
4. Psikosis lain
5. Psikosis tak
tergolongkan
II. Neurosis, Gangguan Kepribadian dan Gangguan
Non Psikosis Lainnya.
A. Neurosis Cemas
B. Neurosis
Histerik
C. Neurosis Fobik
D. Neurosis
Obsesif-kompulsif
E. Neurosis
Depresif
F. Neurasthenia
G. Sindroma
Depersonalisasi
H. Neurosis
Hipokondrik
I. Neurosis Lain
J. Neurosis Tak
Tergolongkan
III. Retardasi Mental
IV. Keadaan Tanpa Gangguan Psikiatrik yang Nyata
dan Kondisi (Keadaan) Non-spesifik.
V. Istilah Bukan-diagnosis untuk Penggunaan
Administrasi.
B. GEJALA-GEJALA
KELAINAN JIWA
Gejala kelainan jiwa pada umumnya bersifat kompleks dan
merupakan hasil interkasi antara
faktor somatik (jasmani),
psikologis, dan social-budaya. Gejala gangguan
atau kelainan jiwa
pada umumnya dapat
dipahami dari dua dimensi (Baihaqi dkk., 2005: 57), yaitu:
1. Dimensi deskripstif, hanya melukiskan bagaimana gejala
itu terjadi tanpa menerangkan makna dan dinamikanya. Misal: terjadi halusinasi
pada pagi hari tanpa dijelaskan
halusinasi tentang apa,
bagaimana hal itu
terjadi, reaksi yang timbul kemudian apa, dst.
2. Dimensi
psikodinamik, tidak hanya
menerangkan tentang bagaimana gejala itu
terjadi tetapi juga dinamikanya, missal: gejala apa yang
muncul kapan terjadinya, bagaimana
prosesnya, reaksi yang
terjadi kemudian, dst.
Adapun
jenis-jenis gejala kelainan
jiwa menurut Maramis
(2005: 122-128) adalah sebagai
berikut.
1. Gangguan
Kesadaran
a. Penurunan
kesadaran
b. Kesadaran
yang meninggi
c. Gangguan
tidur
d. Hipnosis
e. Disasosiasi
f. Kesadaran
yang berubah
g. Gangguan
perhatian
2. Gangguan
Ingatan
3. Gangguan
Orientasi
4. Gangguan
Afek dan Emosi
5. Gangguan
Psikomotor
6. Gangguan
Pikiran
a. Gangguan
bentuk pikiran
b. Gangguan
arus pikiran
c. Gangguan
isi pikiran
7. Gangguan
Persepsi
8. Gangguan
Inteligensi
9. Gangguan
Kepribadian
10. Gangguan
Kepribadian
11. Gangguan
Pola Hidup
NEUROSIS
A. PENGERTIAN
NEUROSIS
Neurosis
kadang-kadang disebut psikoneurosis
dan gangguan jiwa (untuk
membedakannya dengan psikosis
atau penyakit jiwa.
Menurut Singgih Dirgagunarsa
(1978 : 143),
neurosis adalah gangguan
yang terjadi hanya pada sebagian
dari kepribadian, sehingga orang yang mengalaminya masih bisa melakukan
pekerjaan-pekerjaan biasa sehari-hari atau masih bisa belajar, dan jarang
memerlukan perawatan khusus di rumah sakit. Dali Gulo
(1982 : 179),
berpendapat bahwa neurosis
adalah suatu kelainan mental,
hanya memberi pengaruh
pada sebagaian kepribadian, lebih ringan
dari psikosis, dan
seringkali ditandai dengan
: keadaan cemas yang kronis, gangguan-gangguan pada
indera dan motorik, hambatan emosi, kurang perhatian terhadap lingkungan, dan
kurang memiliki energi fisik, dst.
Nurosis, menurut
W.F. Maramis (1980
: 97), adalah
suatu kesalahan penyesuaian diri
secara emosional karena
tidak diselesaikan suatu
konflik tidak sadar. Berdasarkan pendapat mengenai neurosis dari para
ahli tersebut dapat diidentifikasi
pokok-pokok pengertian mengenai neurosis sebagai berikut.
1. Neurosis
merupakan gangguan jiwa pada taraf ringan.
2. Neurosis
terjadi pada sebagian aspek kepribadian.
3. Neurosis
dapat dikenali gejala-gejala yang menyertainya dengan ciri khas kecemasan.
4. Penderita neurosis masih mampu menyesuaikan diri dan
melaku - kan aktivitas sehari-hari.
B. JENIS-JENIS
NEUROSIS
Kelainan jiwa yang disebut neurosis ditandai dengan
bermacam-macam gejala. Dan berdasarkan
gejala yang paling menonjol, sebutan
atau nama untuk jenis neurosis diberikan. Dengan demikian
pada setiap jenis neurosis terdapat ciri-ciri
dari jenis neurosis
yang lain, bahkan
kadang-kadang ada pasien yang
menunjukkan begitu banyak
gejala sehingga gangguan
jiwa yang dideritanya sukar untuk dimasukkan pada jenis neurosis tertentu
(W.F. Maramis, 1980 : 258).
Bahwa nama atau sebutan untuk neurosis diberikan
berdasarkan gejala yang paling menjonjol
atau paling kuat.
Atas dasar kriteria
ini para ahli mengemukakan jenis-jenis
neurosis sebagai berikut
(W.F. Maramis, 1980 : 257-258).
1. Neurosis cemas (anxiety neurosis atau anxiety state)
a. Gejala-gejala neurosis cemas
Tidak ada rangsang yang spesifik yang menyebabkan
kecemasan, tetapi bersifat mengambang bebas,
apa saja dapat menyebabkan gejala
tersebut. Bila kecamasan yang
dialami sangat hebat maka terjadi kepanikan.
Adapun gejala-gejala neurosis
cemas adalah Gejala-gejala neurosis
cemas : 1)
Gejala somatis dapat
berupa sesak nafas, dada tertekan, kepala ringan seperti mengambang, lekas lelah,
keringat dingan, dst.
2) Gejala psikologis
berupa
kecemasan,
ketegangan, panik, depresi,
perasaan tidak mampu, dst.
b. Faktor penyeban neurosis cemas
Menurut
Maramis (1980 :
261), faktor pencetus
neurosis cemas sering jelas dan secara psikodinamik berhubungan
dengan faktor- faktor yang menahun
seperti kemarahan yang dipendam.
c. Terapi untuk penderita neurosis cemas
Terapi untuk penederita
neurosis cemas dilakukan
dengan menemukan sumber ketakutan
atau kekuatiran dan
mencari penyesuaian yang lebih
baik terhadap permasalahan.
Mudah tidaknya upaya
ini pada umumnya dipengaruhi oleh
kepribadian penderita. Ada beberapa
jenis terapi yang
dapat dipilih untuk menyembuhkan neurosis cemas, yaitu :
- psikoterapi individual
- psikoterapi kelompok
- psikoterapi analitik
- sosioterapi
- terapi seni kreatif
- terapi kerja
- terapi perilaku
- farmakoterapi
2. Histeria
a. Gejala-gejala
histeria
Histeria
merupakan neurosis yang
ditandai dengan reaksi-reaksi emosional yang
tidak terkendali sebagai
cara untuk mempertahankan diri
dari kepekaannya terhadap
rangsang - rangsang
emosional. Pada neurosis
jenis ini fungsi
mental dan jasmaniah dapat
hilang tanpa dikehendaki
oleh penderita. Gejala - gejala sering
timbul dan hilang
secara tiba-tiba, teruma
bila penderita menghadapi situasi yang menimbulkan reaksi emosional yang hebat.
b. Jenis-jenis histeria
Histeria
digolongkan menjadi 2, yaitu reaksi
konversi atau histeria minor dan reaksi disosiasi atau
histeria mayor.
1) Histeria
minor atau reaksi konversi
Pada histeria minor
kecemasan diubah atau
dikonversikan (sehingga
disebut reaksi konversi)
menjadi gangguan fungsional
susunan saraf somatomotorik atau somatosensorik, dengan gejala
: lumpuh, kejang-kejang, mati raba,
buta, tuli, dst.
2) Histeria
mayor atau reaksi disosiasi
Histeria
jenis ini dapat terjadi bila kecemasan yang yang alami penderita demikian
hebat, sehingga dapat
memisahkan beberapa fungsi kepribadian
satu dengan lainnya
sehingga bagian yang terpisah
tersebut berfungsi secara
otonom, sehingga timbul
gejala-gejala : amnesia, somnabulisme,
fugue, dan kepribadian ganda.
c. Faktor penyebab histeria
Menurut
Sigmund Freud, histeria
terjadi karena pengalaman traumatis (pengalaman menyakitkan)
yang kemudian direpresi atau ditekan
ke dalam alam tidak sadar.
Maksudnya adalah untuk melupakan atau
menghilangkan pengalaman tersebut.
Namun pengalaman traumatis tersebut tidak dapat dihilangkan begitu saja,
melainkan ada dalam alam tidak
sadar (uncociousness) dan suatu saat
muncul kedalam sadar tetapi dalam bentuk gannguan jiwa.
d. Terapi terhadap
penderita histeria
Ada beberapa teknik
terapi yang dapat
dilakukan untuk menyembuhkan
hysteria yaitu :
Teknik hipnosis (pernah diterapkan
oleh dr. Joseph Breuer);
Teknik asosiasi bebas
(dikembangkan oleh Sigmund Freud);
Psikoterapi suportif.
Farmakoterapi.
3. Neurosis fobik
a. Gejala-gejala neurosis fobik
Neurosis
fobik merupakan gangguang
jiwa dengan gejala utamanya fobia,
yaitu rasa takut
yang hebat yang
bersifat irasional, terhadap suatu
benda atau keadaan.
Fobia dapat menyebabkan timbulnya
perasaan seperti akan
pingsan, rasa lelah, mual, panik,
berkeringat, dst. Ada bermacam-macam fobia
yang nama atau
sebutannya menurut faktor yang menyebabkan ketakutan tersebut, misalnya
:
Hematophobia : takut melihat darah
Hydrophobia : takut pada air
Pyrophibia : takut pada api
Acrophobia : takut berada di tempat yang tinggi
b. Faktor penyebab neurosis fobik
Neurosis
fobik terjadi karena
penderita pernah mengalami ketakutan dan shock hebat berkenaan
dengan situasi atau benda tertentu, yang disertai perasaan malu dan bersalah.
Pengalaman traumastis ini kemudian
direpresi (ditekan ke
dalam ketidak sadarannya).
Namun pengalaman tersebut
tidak bisa hilang
dan akan muncul bila ada rangsangan serupa.
c. Terapi untuk penderita neurosis fobik
Menurut
Maramis, neurosa fobik
sulit untuk dihilangkan
sama sekali bila gangguan tersebut telah lama diderita atau berdasarkan fobi pada
masa kanak-kanak. Namun
bila gangguan tersebut relatif baru dialami proses
penyembuhannya lebih mudah. Teknik terapi
yang dapat dilakukan untuk penderita neurosis fobik adalah:
Psikoterapi suportif,
upaya untuk mengajar
penderita memahami apa yang
sebenarnya dia alami
beserta psikodinamikanya.
Terapi perilaku
dengan deconditioning, yaitu
setiap kali penderita merasa
takut dia diberi
rangsang yang tidak menyenagkan.
Terapi kelompok.
Manipulasi lingkungan.
4. Neurosis obsesif-kompulsif
a. Gejala-gejala neurosis obsesif-kompulsif
Istilah obsesi menunjuk pada suatu ide yang mendesak ke dalam pikiran atau
menguasai kesadaran dan istilah kompulsi
menunjuk pada dorongan atau impuls
yang tidak dapat ditahan untuk tidak dilakukan, meskipun
sebenarnya perbuatan tersebut
tidak perlu dilakukan.
Contoh obsesif-kompulsif
antara lain ;
Kleptomania :
keinginan yang kuat untuk
mencuri meskipun dia tidak membutuhkan barang yang ia curi.
Pyromania :
keinginan yang tidak
bisa ditekan untuk membakar sesuatu.
Wanderlust :
keinginan yang tidak
bisa ditahan untuk bepergian.
Mania cuci
tangan : keinginan
untuk mencuci tangan secara terus menerus.
b. Faktor penyebab neurosis obsesif-kompulsif
Neurosis jenis ini dapat terjadi karena faktor-faktor
sebagai berikut (Yulia D., 2000 :
116-117).
Konflik antara
keinginan-keinginan yang ditekan atau dialihkan.
Trauma mental emosional,
yaitu represi pengalaman masa lalu
(masa- kecil).
c. Terapi untuk penderita neurosis obsesif - kompulsif
psikoterapi suportif;
penjelasan dan pendidikan;
terapi perilaku.
5. Neurosis depresif
a. Gejala-gejala neurosis depresif
Neurosis depresif merupakan neurosis dengan gangguang
utama pada perasaan dengan
ciri-ciri : kurang
atau tidak bersemangat, rasa harga diri rendah,
dan cenderung menyalahkan diri sendiri. Gejala-gejala utama gangguan
jiwa ini adalah :
gejala jasmaniah : senantiasa lelah.
gejala psikologis :
sedih, putus asa,
cepat lupa, insomnia, anoreksia, ingin mengakhiri
hidupnya, dst.
b.Faktor penyebab neurosis depresif
Menurut hasil riset mutakhir sebagaimana dilakukan oleh
David D. Burns (1988 : 6), bahwa depresi tidak didasarkan pada persepsi akurat tentang
kenyataan, tetapi merupakan
produk “keterpelesetan’ mental, bahwa depresi bukanlah suatu gangguan emosional sama
sekali, melainkan akibat
dari adanya distorsi kognitif atau pemikiran yang
negatif, yang kemudian menciptakan suasana jiwa, terutama perasaan yang negatif
pula. Burns berpendapat bahwa
persepsi individu terhadap
realitas tidak selalu bersifat
objektif. Individu memahami
realitas bukan bagaimana sebenarnya
realitas tersebut, melainkan
bagaimana realitas tersebut
ditafsirkan. Dan penafsiran ini bisa
keliru bahkan bertentangan dengan realitas
sebenarnya. Konsepsi tersebut kemudian oleh
Burns dijelaskan dengan
visualisasi sebagai berikut (1988
: 21).
C. Terapi untuk penderita neurosis depresif
Untuk menyembukan
depresi, Burns (1988
: 5) telah mengembang-kan
teknik terapi dengan prinsip yang disebut terapi kognitif, yang dilakukan
dengan prinsip sebagai berikut. Bahwa
semua rasa murung disebabkan
oleh kesadaran atau pemikiran ang bersangkutan. Jika depresi
sedang terjadi maka
berarti pemikiran telah dikuasai oleh kekeliruan yang mendalam.
Bahwa pemikiran negative
menyebabkan kekacauan emosional.
Terapi
kognitif dilakukan dengan cara membetulkan pikiran yang salah, yang telah menyebabkan terjadinya kekacauan emosional. Selain terapi
kognitif, bisa pula
pendrita depresi mendapatkan farmakoterapi.
6. Neurasthenia
a. Gejala-gejala neurasthenia
Neurasthenia
disebutjuga penyakit payah.
Gejala utama gangguan ini
adalah tidak bersemangat,
cepat lelah meskipun hanya mengeluarkan
tenaga yang sedikit,
emosi labil, dan kemampuan berpikir menurun. Di samping
gejala-gejala utama tersebut
juga terdapat gejala- gejala tambahan,
yaitu insomnia, kepala
pusing, sering merasa dihinggapi bermacam-macam penyakit,
dst.
b. Faktor penyebab neurasthenia
Neurasthenia
dapat terjadi karena
beberapa faktor (Zakiah Daradjat, 1983 : 34), yaitu sebagai
berikut. Terlalu lama menekan
perasaan, pertentangan batin, kecemasan. Terhalanginya
keinginan-keinginan. Sering gagal dalam menghadapi persaingan-persaingan
c. Terapi untuk penderita neurasthenia
Upaya
membantu penyembuahn penderita
neurasthenia dapat dilakukan
dengan teknik terapi sebagai berikut.
Psikoterapi supportif, Terapi olah raga, Farmakoterapi.
PSIKOSIS
A. PENGERTIAN
PSIKOSIS
Menurut Singgih D. Gunarsa (1998
: 140), psikosis ialah
gangguan jiwa yang meliputi
keseluruhan kepribadian, sehingga
penderita tidak bisa menyesuaikan diri dalam norma-norma hidup
yang wajar dan berlaku umum. W.F.
Maramis (2005 :
180), menyatakan bahwa
psikosis adalah suatu gangguan jiwa dengan kehilangan rasa
kenyataan (sense of reality). Kelainan seperti ini dapat diketahui berdasarkan gangguan-gangguan pada perasaan, pikiran,
kemauan, motorik, dst. sedemikian berat sehingga perilaku penderita tidak sesuai
lagi dengan kenyataan. Perilaku penderita psikosis tidak dapat dimengerti oleh
orang normal, sehingga
orang awam menyebut
penderita
sebagai orang gila.
Berbicara mengenai psikosis, Zakiah Daradjat (1993
: 56), menyatakan
sebagai berikut.
Seorang yang diserang
penyakit jiwa (psychosis),
kepribadiannya terganggu, dan selanjutnya menyebabkan kurang mampu menyesuaikan
diri dengan wajar, dan tidak sanggup memahami problemnya. Seringkali orang sakit
jiwa tidak merasa
bahwa dirinya sakit,
sebaliknya ia menganggap dirinya
normal saja, bahkan
lebih baik, lebih
unggul, dan lebih penting dari
orang lain.
Definisi
berikutnya tentang psikosis
(Medline Plus, 200)
rumusannya sebagai berikut:
“Psychosis is a loss of contact with reality, usually including false ideas about what is
taking place or who one is
(delusions) and seeing or hearing things
that aren't there
(hallucinations)”. Psikosis, menurut
Medline Plus adalah
kelainan jiwa yang
ditandai dengan hilangnya
kontak
dengan
realitas, biasanya mencakup ide-ide
yang salah tentang
apa yang sebenarnya terjadi,
delusi, atau melihat
atau mendengar sesuatu
yang
sebenarnya tidak ada (halusinasi).
Dari empat pendapat
tersebut dapat diperoleh
gambaran tentang psikosis yang intinya sebagai berikut.
1. Psikosis merupakan gangguan jiwa yang berat, atau tepatnya penyakit jiwa, yang terjadi pada
semua aspek kepribadian.
2. Bahwa penderita psikosis tidak dapat lagi berhubungan
dengan realitas, penderita hidup dalam dunianya sendiri.
3. Psikosis
tidak dirasakan keberadaannya
oleh penderita. Penderita tidak menyadari bahwa dirinya
sakit.
4. Usaha
menyembuhkan psikosis tak
bias dilakukan sendiri
oleh penderita tetapi hanya bisa dilakukan oleh pihak lain.
5. Dalam bahasa sehari-hari, psikosis disebut dengan
istilah gila.
B. PERBEDAAN
PSIKOSIS DENGAN NEUROSIS
Untuk memperjelas
pemahaman mengenai psikosis ada
baiknya mem- bandingkan
kelainan jiwa ini
dengan neurosis sebagaimana
telah diidentifikasi oleh J.C.
Coleman (W.F. Maramis,
2005 : 251)
telah menemukan 6 perbedaan
antara psikosis dengan
neurosis atas dasar
:
1.perilaku umum,
2. gejala-gejala,
3. orientasi,
4. Pemahaman
(insight),
5.resiko social, dan
6. Penyembuhan.
C. JENIS-JENIS
PSIKOSIS
Secara umum, psikosis
dibedakan menjadi dua
jenis berdasarkan faktor penyebabnya,
yaitu psikosis organik,
yang disebabkan oleh
faktor oganik dan psikosis
fungsional, yang terjadi karena faktor kejiwaan. Kedua jenis psikosis dan yang termasuk di
dalamnya diuraikan berikut ini.
1. Psikosis
organik
Psikosis
organik adalah penyakit
jiwa yang disebabkan
oleh faktor- faktor fisik
atau organik, yaitu
pada fungsi jaringan
otak, sehingga penderita mengalamai
inkompeten secara sosial,
tidak mampu bertanggung jawab,
dan gagal dalam menyesuaikan diri terhadap realitas. Psikosis organis dibedakan
menjadi beberapa jenis dengan sebutan
atau nama mengacu pada
faktor penyabab terjadinya.
Jenis psikosis yang tergolong psikosis organik adalah
sebagai berikut.
a. Alcoholic
psychosis, terjadi karena
fungsi jaringan otak terganggu atau rusak akibat terlalu
banyak minum minuman keras.
b. Drug
psychose atau psikosis
akibat obat-obat terlarang (mariyuana, LSD, kokain, sabu-sabu,
dst.).
c. Traumatic psychosis, yaitu psikosis yang terjadi akibat luka atau trauma pada kepala karena kena
pukul, tertembak, kecelakaan, dst.
d. Dementia
paralytica, yaitu psikosis
yang terjadi akibat
infeksi syphilis yang kemudian menyebabkan kerusakan sel-sel otak.
2. Psikosis
fungsional
Psikosis fungsional merupakan penyakit jiwa
secara fungsional yang bersifat
nonorganik, yang ditandai
dengan disintegrasi kepribadian
dan ketidak mampuan dalam melakukan
penyesuaian sosial. Psikosis
jenis inidibedakan menjadi
beberapa ., yaitu
: schizophrenia, psikosis mania- depresif, dan psiukosis
paranoid (Kartini Kartono, 1993 : 106).
a. Schizophrenia
Arti
sebenarnya dari Schizophrenia
adalah kepribadian yang terbelah
(split of personality).
Sebutan ini diberikan
berdasarkan gejala yang paling
menonjol dari penyakit
ini, yaitu adanya
jiwa yang terpecah belah.
Antara pikiran, perasaan,
dan perbuatan terjadi disharmoni.
1) Gejala-gejala schizophrenia (Singgih Dirgagunarsa, 1998 : 141- 142) Kontak dengan realitas tidak ada
lagi, penderita lebih banyak hidup
dalam dunia khayal
sendiri, dan berbicara
serta bertingkah laku sesuai
dengan khayalannya, sehingga tidak sesuai
dengan kenyataan. Karena tidak ada
kontak dengan realitas, maka logikanya tidak berfungsi
sehingga isi pembeicaraan
penderita sukar untuk diikuti
karena meloncat-loncat (inkoheren)
dan seringkali muncul kata-kata
aneh yang hanya
dapat dimengerti oleh penderita sendiri. Pikiran, ucapan,
dan perbuatannya tidak
sejalan, ketiga aspek kejiwaan
ini pada penderita
schizophrenia dapat berjalan sendiri-sendiri, sehingga
ia dapat menceritakan kejadian yang menyedihkan sambil
tertawa. Sehubungan dengan pikiran
yang sangat berorientasi
pada khayalannya sendiri, timbul delusi ata waham pada penderita schizophrenia
(bisa waham kejaran dan kebesaran).Halusinasi sering dialami pula oleh
penderita schizophrenia.
2) Faktor penyebab terjadinya schizophrenia
Pendapat para ahlimengenai factor penyebab schizophrenia ada bermacam-macam. Ada yang menyatakan bahwa
penyakit ini merupakan keturunan.
Ada pula yang
menyatakan bahwa schizophrenia terjadi
gangguan endokrin dan
metabolisme. Sedangkan
pendapat yang berkembang
dewasa ini adalah bahwa penyakit jiwa ini disebabkan
oleh beberapa factor, antara lain keturunan, pola asuh yang salah, maladaptasi,
tekanan jiwa, dan penyakit lain
yang belum diketahui
(W.F. Maramis, 2005 : 216-217).
b. Psikosis
mania-depresif
Psikosis
mania-depresif merupakan kekalutan
mental yang berat, yang
berbentuk gangguan emosi
yang ekstrim, yaitu berubah-ubahnya kegembiraan
yang berlebihan (mania) menjadi kesedihan yang
sangat mendalam (depresi)
dan sebaliknya dan seterusnya.
1) Gejala-gejala psikosis mania-depresif
a) Gejala-gejala mania antara lain:
- euphoria (kegembiraan secara berlebihan)
- waham kebesaran;
- hiperaktivitas;
- pikiran melayang.
b) Gejala-gejala depresif antara lain :
- kecemasan
- pesimis
- hipoaktivitas
- insomnia
- anorexia
2) Faktor penyebab psikosis mania-depresif
Psikosis
mania-depresif disebabkan oleh
faktor yang berhubungan dengandua
gejala utama penyakit ini, yaitu mania dan depresi.
Aspek mania terjadi
akibat dari usaha
untuk melupakan kesedihan dan
kekecewaan hidup dalam
bentuk aktivitas-aktivitas
yang sangat berlebihan.
Sedangkan aspek depresinya terjadi
karena adanya penyesalan
yang berlebihan.
c. Psikosis paranoid
Psikosis paranoid
merupakan penyakit jiwa
yang serius yang ditandai dengan banyak delusi atau waham
yang disistematisasikan dan ide-ide yang
salah yang bersifat
menetap. Istilah paranoid dipergunakan pertama kali oleh
Kahlbaum pada tahun 1863, untuk menunjukkan suatu
kecurigaan dan kebesaran
yang berlebihan (W.,F. Maramis,
2005 : 241).
1) Gejala-gejala
psikosis paranoid
Sistem waham yang kaku, kukuh dan sistematis, terutama waham kejaran dan kebesaran baik
sendiri-sendiri maupun bercampur aduk Pikirannya dikuasai
ole ide-ide yang
salah, kaku, dan paksaan.
2) Faktor penyebab
psikosis paranoid
Faktor-faktor
yangdapat menyebabkan psikosis
paranoid (Kartini Kartono, 1999 : 176), antara lain :
- Kebiasaan berpikir yang salah;
- Terlalu sensitif dan seringkali dihinggapi rasa curiga;
- Adanya rasa percaya diri yang berlebihan (over confidence);
- Adanya kompensasi terhadap kegagalan dan kompleks inferioritas.
PSIKOPAT
A. PENGERTIAN
PSIKOPAT
Singgih
Dirgagunarsa (1998 :
145) menyatakan bahwa
psikopat merupakan hambatan kejiwaan
yang menyebabkan penderita
mengalami kesulitan dalam menyesuaikan diri terhadap norma-norma sosial
yang ada di lingkungannya.
Penderita psikopat memperlihatkan sikap
egosentris yang besar,
seolah-olah patokan untuk semua perbuatan dirinya sendiri saja.
Menurut Kartini Kartono
(1999 : 95),
psikopat adalah bentul
kekalutan mental (mental disorder)
yang ditandai dengan
tidak adanya pengorganisasian dan
pengintegrasian pribadi sehingga
penderita tidak pernah bisa
bertanggung jawab secara
moral dan selalu
konflik dengan norma-norma sosial
dan hukum. Selanjutnya Kartini Kartono menyebutkan gejala-gejala psikopat
antara lain sebagai berikut.
1. Tingkah
laku dan realasi
social penederita selalu
asosial, eksentrik dan kronis
patologis, tidak memiliki kesadaran
social dan inteligensi sosial.
2. Sikap penderita psikopat selalu tidak menyenangkan
orang lain.
3. Penderita
psikopat cenderung bersikap
aneh, sering berbuat
kasar bahkan ganas terhadap siapapun.
4. penderita
psikopat memiliki kepribadian
yang labil dan
emosi yang tidak matang.
B. FAKTOR PENYEBAB
TERJADINYA PSIKOPAT
Seseorang
dapat menderita psikopat
karena kurang atau
tidak adanya kasih sayang
yang diterima dari
lingkungannya, terutama keluarga. Selama lima tahun pertama dalam hidupnya dia tidak pernah merasakan kelebutan, kemesraan, dan
kasih sayang, sehingga
individu yang bersangkutan
gagal dalam mengembangkan kemampuan
untuk menerima dan
memberikan perhatian dan kasih saying pada orang lain (Kartini Kartono,
1990 : 75).
Bahwa
terjadinya psikopat tidak
terlepas bahkan ditentukan
oleh lingkungan keluarga tidak dapat dipungkiri. Dalam Hal ini Elizabeth Hurlock
(1997 : 257)
mengutip pendapat penulis
yang tidak bernama
antara lain
sebagai berikut.
Bila seorang anak hidup dalam kecaman, dia belajar
mengutuk.
Bila dia hidup dalam permusuhan, dia belajarberkelahi.
Bila dia hidup dalam toleransi, dia belajar bersabar.
Bila dia hidup dalam kebijaksanaan, dia belajar mengharga
keadilan.
Bila dia hidup akan
suasana aman, dia belajar percaya akan dirinya dan orang lain.
RETARDASI
MENTAL
A. PENGERTIAN RETARDASI MENTAL
Retardasi mental adalah kelainan atau kelemahan jiwa
dengan inteligensi
yang kurang (subnormal) sejak
masa perkembangan (sejak
lahir atau sejak masa
anak). Biasanya terdapat
perkembangan mental yang
kurang secara keseluruhan, tetapi
gejala yang utama
ialah inteligensi yang
terbelakang. Retardasi mental
disebut juga oligofrenia
(oligo: kurang atau
sedikit dan fren: jiwa) atau tuna
mental (W.F. Maramis, 2005: 386).
Retardasi mental merupakan kelemahan
yang terjadi pada
fungsi intelek. Kemampuan jiwa
retardasi mental gagal
berkembang secara wajar.
Mental, inteligensi,
perasaan, dan kemauannya
berada pada tingkat
rendah, sehingga yang
bersangkutan mengalami hambatan dalam penyesuaian diri.
B. FAKTOR-FAKTOR PENYEBAB RETARDASI MENTAL
Menurut
Pedoman Penggolongan Diagnosis
Gangguan Jiwa Ke-1 (W.F.
Maramis, 2005: 386-388) factor-faktor penyebab retardasi mental adalah sebagai berikut.
a. Infeksi dan
atau intoksinasi
Infeksi yang terjadi pada masa prenatal dapat berakibat
buruk pada perkembangan janin, yaitu
rusaknya jaringan otak. Begitu juga dengan terjadinya intoksinasi,
jaringan otak juga
dapat rusak yang
pada akhirnya menimbulkan retardasi mental. Infeksi dapat terjadi karena masuknya rubella, sifilis, toksoplasma, dll. ke dalam tubuah ibu yang sedang mengandung.
Begitu pula halnya dengan
intoksinasi, karena masuknya
“racun” atau obat
yang semestinya dibutuhkan.
b. Terjadinya
rudapaksa dan / atau sebab fisik lain
Rudapaksa
sebelum lahir serta
trauma lainnya, seperti
hiper radiasi, alat kontrasepsi,
dan usaha melakukan
abortus dapat mengakibatkan
kelainan berupa retardasi mental. Pada
waktu proses kelahiran
(perinatal) kepala bayi
dapat mengalami tekanan sehingga
timbul pendarahan di
dalam otak Mungkin juga
karena terjadi kekurangan
oksigen yang kemudian menyebabkan terjadinya
degenerasi sel-sel korteks
otak yang kelak mengakibatkan retardasi mental.
c. Gangguan
metabolisme, pertumbuhan atau gizi
Semua retardasi mental yang langsung disebabkan oleh
gangguan metabolisme (misalnya gangguan
metabolism karbohidrat dan protein), gangguan pertumbuhan, dan gizi buruk termasuk dalam kelompok ini. Gangguan gizi yang berat dan berlangsung
lama sebelum anak berusia 4 tahun sangat
mempengaruhi perkembangan otak
dan dapat mengakibatkan retardasi mental. Keadaan seperti
itu dapat diperbaiki dengan memberikan
gizi yang mencukupi
sebelum anak berusia
6 tahun, sesudah itu
biarpun anak tersebut
dibanjiri dengan makanan yang
bergizi, inteligensi yang
rendah tersebut sangat
sukar untuk ditingkatkan.
d. Penyakit otak
yang nyata
Dalam
kelompok ini termasuk
retardasi mental akibat
beberapa reaksi sel-sel otak yang nyata, yang dapat bersifat
degeneratif, radang, dst. Penyakit otak yang terjadi sejak lahir atau bayi
dapat menyebabkan penderita mengalamai keterbelakangan mental.
e. Penyakit atau
pengaruh prenatal
Keadaan ini dapat
diketahui sudah ada
sejak dalam kandungan, tetapi tidak diketahui etiologinya, termasuk anomaly cranial primer dan defek
congenital yang tak diketahui sebabnya.
f. Kelainan
kromosom
Kelainan
kromosom mungkin terjadi
pada aspek jumlah
maupun bentuknya. Kelainan pada
jumlah kromosom menyebabkan sindroma
down yang dulu sering disebut mongoloid. .
g. Prematuritas
Retardasi mental yang
termasuk ini termasuk
retrdasi mental yang berhubungan
dengan keadaan bayi
yang pada waktu
lahir berat badannya kurang
dari 2500 gram
dan/atau dengan masa
kehamilan kurang dari 38 minggu.
h. Akibat gangguan
jiwa yang berat
Retardasi mental
juga dapat terjadi karena adanya
gangguan jiwa yang berat pada masa
kanak-kanak.
i. Deprivasi
psikososial
Devripasi artinya tidak terpenuhinya kebutuhan. Tidak
terpenuhinya kebutuhan psikososial awal-awal
perkembangan ternyata juga
dapat menyebabkan terjadinya retardasi mental pada anak.
C. TINGKATAN RETARDASI MENTAL
Untuk menentukan
berat-ringannya retardasi
mental, kriteria yang dipakai adalah: 1.
Intelligence Quotient (IQ),
2. Kemampuan anak
untuk dididik dan dilatih, dan 3. Kemampuan sosial dan
bekerja (vokasional). Berdasarkan kriteria tersebut kemudian dapat diklasifikasikan
berat-ringannya retardasi mental yang menurut GPPDGJ - 1 (W.F. Maramis, 2005:
390-392) adalah sebagai berikut.
1. Retardasi Mental Taraf Perbatasan
Karakteristik retardasi mental taraf perbatasan adalah :
a. Intelligence
Quotient : 68 - 85 (keadaan bodoh/bebal)
b. Patokan social
: Tidak dapat bersaing dalam mencari nafkah
c. Patokan pendidikan
: Beberapa kali tak naik kelas di SD
2. Retardasi Mental Ringan
Karakteristik retardasi mental ringan adalah:
a. Intelligence
Quotient : 52 – 67 (debil/moron/keadaan
tolol)
b. Patokan sosial
: Dapat mencari nafnah
sendiri dengan mengerjakan sesuatu
yang sederhana dan mekanistis.
c. Patokan pendidikan
: Dapat dididik dan
dilatih tetapi pada
sekolah khusus (SLB)
3. Retardasi Mental Sedang
Karakteristik retardasi mental sedang adalah:
a. Intelligence
Quotient : 36 – 51 (taraf
embisil/keadaan dungu)
b. Patokan sosial
: Tidak dapat mencari
nafkah sendiri. Dapat melakukan perbuatan untuk keperluan
dirinya (mandi, berpakaian, makan, dst.).
c. Patokan pendidikan
: Tidak dapat dididih, hanya dapat dilatih.
4. Retardasi Mental Berat
Karakteristik retardasi mental berat adalah:
a. Intelligence
Quotient : 20 – 35
b. Patokan sosial
: Tidak dapat mencari
nafkah sendiri. Kurang mampu melakukan perbuatan untuk
keperluan dirinya. Dapat mengenal bahaya.
c. Patokan pendidikan
: Tidak dapat dididik, dapat dilatih untuk hal-hal yang sangat
sederhana.
5. Retardasi Mental Sangat Berat
Karakteristik retardasi mental sangat berat adalah:
a. Intelligence
Quotient : Kurang dari 20 (idiot/keadaan
pander)
b. Patokan social
: Tidak dapat mengurus
diri sendiri dan
tidak dapat mengenal bahaya.
Selama hidup tergantung dari
pihak lain.
c. Patokan pendidikan
: Tidak dapat dididik dan dilatih.
D. PENCEGAHAN RETARDASI MENTAL
Terjadinya
retardasi mental dapat dicegah.
Pencegahan retardasi mental dapat
dibedakan menjadi dua: pencegahan primer dan pencegahan sekunder.
1. Pencegahan Primer
Usaha
pencegahan primer terhadap
terjadinya retardasi mental dapat dilakukan dengan:
a. Pendidikan kesehatan pada masyarakat.
b. Perbaikan keadaan social-ekonomi.
c. Konseling genetik.
d. Tindakan kedokteran, antara lain:
1) Perawatan prenatal dengan baik;
2) Pertolongan persalinan
yang baik;
3) Pencegahan kehamilan usia sangat muda (usia ibu kurang
dari 20 tahun) dan terlalu tua (usia ibu lebih dari 46 tahun).
2. Pencegahan Sekunder
Pencegahan
sekunder terhadap terjadinya
retardasi mental dapat dilakukan dengan diagnosis dan
pengobatan dini peradangan otak dan gangguan lainnya.
E. PENANGANAN RETARDASI MENTAL
Penanganan terhadap penderita retardasi mental bukan
hanya tertuju pada penderita saja, melainkan
juga pada orang
tuanya. Mengapa demikian? Siapapun orangnya
pasti memiliki beban
psiko-sosial yang tidak
ringan jika anaknya menderita
retardasi mental, apalagi jika masuk kategori yang berat dan sangat berat. Oleh
karena itu agar
orang tua dapat
berperan secara baik
dan benar maka mereka perlu memiliki kesiapan psikologis dan teknis. Untuk
itulah
maka mereka perlu mendapatkan layanan konseling.
Konseling dilakukan secara fleksibel
dan pragmatis dengan
tujuan agar orang
tua penderita mampu mengatasi bebab psiko-sosial pada
dirinya terlebih dahulu. Untuk
mendiagnosis retardasi mental
dengan tepat, perlu
diambil anamnesis dari orang
tua dengan teliti mengenai: kehamilan,
persalinan, dan pertumbuhan serta
perkembangan anak. Dan bila perlu dilakukan pemeriksaan laboratorium.
1. Pentingnya Pendidikan dan Latihan untuk Penderita
Retardasi Mental
a. Latihan untuk
mempergunakan dan mengembangkan kapasitas yang dimiliki dengan sebaik-baiknya.
b. Pendidikan dan
latihan diperlukan untuk memperbaiki sifat-sifat yang salah.
c. Dengan latihan
maka diharapkan dapat
membuat keterampilan berkembang, sehingga
ketergantungan pada pihak
lain menjadi berkurang atau
bahkan hilang.
Melatih penderita
retardasi mental pasti lebih
sulit dari pada melatih anak normal antara
lain karena perhatian
penderita retardasi mental mudah
terinterupsi. Untuk mengikat
perhatian mereka tindakan
yang dapat dilakukan adalah dengan merangsang indera.
2. Jenis-jenis Latihan untuk Penderita Retardasi Mental
Ada beberapa jenis
latihan yang dapat
diberikan kepada penderita
retardasi mental, yaitu:
a. Latihan di
rumah: belajar makan sendiri,
membersihkan badan dan berpakaian
sendiri, dst.
b. Latihan di
sekolah: belajar keterampilan untuk sikap social.
c. Latihan teknis:
latihan diberikan sesuai
dengan minat dan jenis kelamin penderita.
d. Latihan moral:
latihan berupa pengenalan dan tindakan mengenai hal-hal yang baik dan buruk
secara moral.
STRES
A. KONSEPSI-KONSEPSI MENGENAI STRES
Dewasa ini istilah
stress merupakan istilah
sehari-hari, yang bukan
saja diucapkan oleh para psikolog, psikiater, ataupun kalangan
akademisi, tetapi juga diucapkan
oleh anak-anak maupun
orang dewasa dengan
berbagai latar belakang tingkat
pendidikan. Tetapi mereka yang mengucapkan kata
tersebut
belum tentu
mengerti apa sebenarnya stres itu.
Bagi kebanyakan orang, stres dianggap
sama dengan psikosis.
Apakah sebenarnya stres
itu ? Samakah stres dengan
psikosis ? Faktor- faktor apakah
yang dapat menyebabkan stres
? Untuk menjawab
pertanyaan tersebut, berikut dikemukakan
konsep-konsep mengenai stress.
Secara garis besar ada
tiga pandangan mengenai
stres, yaitu :
stres merupakan stimulus,
stres merupakan
respon, dan stres merupakan
interaksi antara individu dengan
lingkungan
(Bart Smet, 1994
: 108-111). Dan
penulis menambahkan satu
pandangan lagi, yaitu stress sebagai hubungan antara
individu dengan stressor.
1. Stres Sebagai Stimulus
Menurut
konsepsi ini stres
merupakan stimulus yang
ada dalam lingkungan (environment). Individu
mengalami stres bila
dirinya menjadi bagian dari lingkungan
tersebut. Dalam konsep ini
stres merupakan variable bebas
sedangkan individu merupakan variabel terikat. Secara visual konsepsi ini dapat
digambarkan sebagai berikut :
Stress
sebagai stimulus dapat
dicontohkan : lingkungan
sekitar yang
penuh
persaingan, misalnya di
terminal dan stasiun
kereta api menjelang lebaran. Mereka yang ada di lingkungan
tersebut, baik itu calon
penumpang, awak bus atau
kereta api, para
petugas, dst., sulit
untuk menghindar dari
situasi yang menegangkan (stressor) tersebut. Hal serupa juga dapat diamati pada lingkungan
di mana terjadi
bencana alam atau
musibah lainnya, misalnya banjir,
gunung meletus, ledakan bom di tengah keramaian, dst.
2. Stres Sebagai
Respon
Konsepsi
kedua mengenai stres
menyatakan bahwa stress
merupakan respon atau reaksi
individu terhadap stressor.
Dalam konteks ini
stress merupakan variable tergantung
(dependen variable) sedangkan
stressor merupakan variable bebas atau independent variable. Berdasarkan
pandangan dari Sutherland dan Cooper, Bart Smet
(1994 : 110) menyajikan konsepsi
stres sebagai respon sebagai berikut.
Pengertian
stres yang mengacu pada
konsepsi stres merupakan respon diantaranya dikemukakan
oleh E.P. Gintings. Menurut Gintings
(1999 : 5-6), stres
ialah reaksi tubuh manusia
kepada setiap tuntutan
yang dialami oleh seseorang dalam hal sebagai berikut. Keletihan
dan kelelahan akibat kehidupan. Suatu
keadaan yang dinyatakan
oleh suatu sindroma
khusus dari peristiwa biologis.
Mobilisasi
pembelaan tubuh yang
memungkinkan adaptasi terhadap peristiwa kekerasan atau ancaman.
Terganggunya mekanisme keseimbangan dalam diri seseorang yaitu keseimbangan
dalam dan keseimbangan luar yang bersifat fisik, sosial, mental, dan spiritual
oleh karena perubahan mendadak yang
sifatnya tidak menyenangkan maupun menyenangkan. Mengecilnya
potensi seseorang karena
adanya luka-luka perasaan, beban berat, dan
kebutuhan-kebutuhan yang tidak terpenuhi dalam diri seseorang. Respon
individu terhadap stressor
memiliki dua konponen,
yaitu :
komponen
psikologis, misalnya terkejut,
cemas, malu, panik, nerveus,
dst. dan komponen fisiologis,
misalnya denyut nadi
menjadi lebih cepat,
perut mual, mulut kering, banyak keluar keringat dst. respon-repons psikologis dan fisiologis
terhadap stressor disebut strain atau ketegangan.
3. Stres Sebagai Interaksi antara Individu dengan
Lingkungan
Menurut
pandangan ketiga, stress
sebagai suatu proses
yang meliputi stressor dan strain
dengan menambahkan dimensi hubungan antara
individu dengan lingkungan. Interaksi
antara manusia dan
lingkungan yang saling
mempengaruhi
disebut sebagai hubungan
transaksional. Di dalam
proses hubungan ini termasuk juga proses penyesuaian. (Bart Smet, 1994 :
111).
Dalam konteks stres sebagai interaksi antara individu
dengan lingkungan, stres tidak dipandang
sebagai stimulus maupun sebagai
respon saja, tetapi juga suatu proses di mana individu
juga merupakan pengantara (agent) yang aktif, yang dapat mempengaruhi
stressor melalui strategi perilaku kognitif dan emosional.
Konsepsi di atas
dapat diperjelas berdasarkan
kenyataan yang ada. Misalnya
saja stressor yang
sama ditanggapi berbeda-beda
oleh beberapa individu. Individu
yang satu mungkin
mengalami stres berat,
yang lainnya mengalami stres
ringan, dan yang
lain lagi mungkin tidak mengalami stres.
Bisa juga terjadi individu memberikan reaksi yang berbeda
pada stressor yang sama. Faktor apa saja yang menyebabkan gejala demikian ? Menurut Bart
Smet (1994 :
130-131), reaksi terhadap
stres bervariasi
antara orang satudengan yang lain dan dari waktu ke waktu
pada orang yang sama, karena pengaruh variabel-varibel sebagai berikut.
a. Kondisi individu,
seperti : umur,
tahap perkembangan, jenis
kelamin, temperamen, inteligensi, tingkat pendidikan, kondisi fisik,
dst.
b. Karakteristik
kepribadian, seperti :
introvert atau ekstrovert,
stabilitas emosi secara umum, ketabahan, locus of control, dst.
c. Variabel sosial-kognitif, seperti
; dukungan sosial
yang dirasakan, jaringan sosial,
dst.
d. Hubungan
dengan lingkungan sosial,
dukungan sosial yang
diterima, integrasi dalam jaringan sosial, dst.
e. Strategi coping.
Konsep stres sebagai
interaksi antara individu
dengan lingkungan dapat digambarkan sebagai
berikut. Bagan 13
menggambarkan reaksi individu terhadap stressor
yang sama, ternyata
bisa berbeda, dan
bagan 14 menggambarkan reaksi
beberapa individu terhadap
stressor yang sama ,
ternyata juga bisa berbeda-beda.
4. Stres Sebagai Hubungan antara Individu dengan Stressor
Stres bukan hanya
dapat terjadi karena
faktor-faktor yang ada di
lingkungan. Bahwa stressor juga bisa berupa faktor-faktor yang ada dalam diri individu,
misalnya penyakit jasmani yang dideritanya, konflik internal, dst. Oleh sebab itu
lebih tepat bila stres
dipandang sebagai hubungan antara
individu
dengan stressor, baik stressor internal maupun eksternal.
Konsep tersebut sesuai
dengan apa yang
dikatakan oleh W.F. Maramis
(1980 : 65-69),
mengenai sumber stress.
Menurut Maramis, stress
dapat terjadi karena frustrasi,
konflik, tekanan, dan krisis.
a. Frustrasi
merupakan terganngunya keseimbangan
psikis karena tujuan gagal dicapai.
b. konflik
adalah terganggunya keseimbangan
karena individu bingung menghadapi beberapa kebutuhan
atau tujuan yang harus dipilih salah satu.
c. Tekanan merupakan
sesuatu yang mendesak
untuk dilakukan oleh individu. Tekanan bisa datang dari diri
sendiri, misalnya keinginan yang sangat
kuat untuk meraih
sesuatu. Tekanan juga
bisa datang dari lingkungan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar